top of page
  • Writer's picturetiga sks

Skripsi : Sebuah Disrupsi


(Skripsi mengganggu proses hidup, atau proses hidup yang mengganggu skripsi?)


Kalau pagi-pagi sekali, atau di siang bolong jam makan siang, bisa diperhatikan Homo sapiens tembalangensis Kampus Oranye sekarang hanya bak tumpukan dedaunan kering, bebatuan lapuk nan payah dihajar hujan, atau bata-bata yang ringkih tak mampu menahan waktu. Begitu gambaran manusia-manusia MMXVI yang lewat hilir-mudik dengan tujuan yang ‘jelas’, konkrit luar biasa berdiri gagah berani. Mereka mengoyak-oyak sepi mereka sendiri, menampikkan dialektika Burjoism, caffeinist. Semangat juang mereka dipasrahkan kepada dinding kaca lembut menyala — gawai komputer kecil miliknya sendiri — yang bertuliskan “Lulus cepat, verdamme!”, “Bab I selesaikan ya”.

Ya, aku ada dalam genus dan spesies yang sama. Dan aku mengalami dinamika yang sama, dengan kasus dan klausul yang berbeda. Waktu semakin habis, dia mengerjai kita semua. Jadi sekarang aku akan mengubah sudut pandang orang ketiga serba tahu kepada orang pertama serba (memang) tahu.

Soal adanya ruang pikir dan gerak, bicara atau diam, aku yakin kita semua sedang bermonolog dengan dinding kamar, pintu kamar mandi, TV yang tidak dihidupkan selama empat atau lima bulan, dan gawai yang sehari-hari kita genggam tanpa sedikitpun kita berpikir untuk tidak membelainya. Pertanyaan-pertanyaan sehari-hari apakah memang laptop yang harus berada di mejaku? Atau secangkir teh/kopi dengan biskuit satu buah dengan teman lama, satu linting rokok? Kita kembalikan ke sederhananya, apakah skripsi merupakan kebutuhan primer? Nah, setelah kita jawab, apakah skripsi adalah sebuah disrupsi? Disrupsi di atas ambisi? Ambisi memang disalahartikan menjadi negatif, atau ultra-positif. Menurut Ivan Lanin, kata adalah netral. Tafsir manusia yang membuatnya berpihak.

K

Dari perspektifku, aku masih tak rela untuk menukar ruang untuk benda setebal lima puluh sampai ratusan halaman untuk ‘karir masa depan’. Tetapi, UKT juga terlalu mahal untuk ‘pertemuan-pertemuan agak tak berguna’. Tergantung kita ingin menjadi progressivist atau conservative. Itu adalah hak kita karena proses skripsian adalah sebuah aliran, fashion, style, atau goresan-goresan penuh teori yang tak berarti.

“Skripsi yang baik adalah skripsi yang selesai.”

Di atas merupakan suatu jawaban normatif, cliche, jawaban cetakan, template yang sangat solutif. Kontemplasi adalah sebuah jawaban pertama, kedua adalah sudut pandang para manusia berpengalaman — senior, supra-senior, dan para sarjana, dan ketiga adalah sudut pandang para ahli — dosen muda. Saya tidak merekomendasikan orang tua, dan dosen ‘lain’. Karena beban mereka terlalu ringan untuk menampung alasan-alasan berkualitas kita. Skripsi bukan sekadar barang yang dapat diselesaikan pengerjaannya dengan perkataan age quod agis. Skripsi adalah karya seni, karya tulis, sebuah buku, yang harus ditulis ab imo pictore. Procrastination adalah sebuah jawaban dangkal untuk menjawab pertanyaan mengapa skripsi tidak semudah itu diselesaikan bagi sebagian (besar) orang. Dosen pembimbing bukan faktor fundamen.


# Trias Problematika

1. Selfism

Pernah dengar kata-kata “selesai dengan diri sendiri” (self-undone)? Ya. Skripsian zonder menyelesaikan masalah diri, problematika yang masih menjadi bahan dialektika sehari-hari, dan kesibukan akan mencari antitesis dan sintesis dalam tesis kita, akan menjadi sia-sia tanpa arah, tanpa arti. Contoh, asmara, keluarga. Ada banyak yang tertinggal atau justru sengaja ditinggal, sadar maupun tak sadar ketika kita masih bisa memenangkan ruang dan waktu saat semester-semester lalu. Memaknai dunia perkuliahan harus betul-betul cepat dan mendalam, jangan terlena euforia nikmatnya semester muda. Apalagi semester satu-dua, busana maha, jiwa putih abu-abu.


Di Jurusan yang sangat keren ini, Ilmu Pemerintahan, prospek kita dituntut sudah ada sejak semester lima dan enam. Akan ditemui dengan fenomena Seminar Proposal Skripsi. Planning secara tiba-tiba menjadi suatu hal yang ‘keren’, ‘popular’, dan umum. Sok-sok menjadi semester tua, dan tentunya belum pasti bijak. Persatuan haha-hehe dari kita memang kebanyakan tanpa dialog berbobot selain lapisan kulit kehidupan saja pada zamannya. Kesadaran akan ‘pergaulan sehat’ untuk akal dan daya pikir kita akan temukan suatu saat memang dibutuhkan. Diri kita sendirilah yang menentukan, dan ketika kita akan menemukan dialog-dialog berbobot, akan semakin besar kemungkinan pertanyaan-pertanyaan berat muncul untuk diri kita sendiri. Ini sebuah otokritik yang agak menyakitkan dan mengganggu kenyamanan. Memangnya tidak boleh menikmati hidup? Sangat boleh. Terjebak kenyamanan dalam pencapaian nikmat hidup-lah yang tidak diperbolehkan. Pencarian-pencarian diri ini, keterlibatan orang tua bisa menjadi kesempatan maupun ancaman. Mengapa ini menjadi faktor ekstrinsik (O atau T)? Karena S dan W nya adalah melalui bagaimana kita menerjemahkannya dari diri sendiri. Terjemahnya bisa kita simpulkan sendiri seperti apa struktur keluarga dan alur pemikiran keluarga masing-masing. Selfism yang kumaksud ini bisa ditemukan hakikatnya dari diri kita semenjak pertama kita menginjakan kaki di almamater, perkembangan dan evolusi apa yang kita alami, lingkaran pergaulan yang seperti apa yang kita masuki, dan orang seperti apa yang kita temui. Belajar dengan senior mana yang kita minati, dll. Bagaimana beban seorang anak sulung yang dituntut menjadi patron bagi keluarga, bagaimana beban seorang anak bungsu yang seakan tertinggal jauh oleh kakak-kakakknya. Bagaimana tekanan seorang perantau di negeri orang dan dalam prosesnya harus survive dengan kultur daerah lain — yang mungkin sangat nonsens bagi kita. Bagaimana seorang lelaki yang dipandang harus mempunyai prospek hidup yang tertata dan menjanjikan, dan seorang perempuan yang siap untuk melahirkan anak-anak cerdas — yang diwariskannya dari intelektual segala lapis.


Di penghujung perkuliahan, di ambang pintu kepergian dari almamater, mungkin pernah mungkin tidak, kita menyalahkan kawan-kawan kita yang tidak lagi sering satu meja dengan kita, satu asbak, satu ruang dan satu waktu. Mereka seakan melupakan, dan mereka kira kita melupakan mereka dan hal-hal lampau yang pernah kita lalui bersama. Tak lagi mereka tampak di tempat biasa bersinggah menuju malam. Tak lagi menjawab telepon atau pesan singkat, tidak lagi tampak wajahnya sebagaimana dulu. Sebaik-baik kita berproses dalam menjadi diri sendiri, bagaimana jika kita juga mempersilakan manusia lain untuk menjadi diri mereka sendiri? Toh, kata seorang manusia, orang terdidik harus bersikap adil sejak dalam pemikiran, bukan? Tugas kita yang utama adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan diri ini.

“Meja adalah kebun dialektika, karena di situlah singgah asbak dan kawannya, gelasgelas kaca dan seisinya menunda kita untuk menyudahi pertemuan, dan tangan-tangan yang ingin bercerita apa saja yang sudah dikerjakannya sepanjang perjalanan waktu.”


2. Noesis & Dialegesthai yang terbatas

Noesis adalah wawasan yang dicapai melalui dialegesthai, yaitu mendiskusikan dan menghubungkan ide-ide dengan prinsip-prinsip. Proses menemukan diri, merefleksikan diri, merilekskan diri, diri diri dan diri adalah sebuah keegoisan yang sejati. Sebagian dari kita mungkin akan butuh lebih lama berada di dalam kamar, atau ruang tamu yang sepi-sunyi kala jam sepuluh pagi. Menolak ajakan dialog kopi, percakapan dua gelas teh jahe panas ditemani rintik hujan tak tentu dan mendung yang tak jelas menuju senja sampai fajar. A bene placito saja, itu adalah hak, tetapi aku justru butuh ruang yang agak ramai untuk menemukan esensi diri itu. Mungkin saja, dengan banyaknya hal ehwal dan sharing, maka akan semakin banyak lagi pertanyaan-pertanyaan untuk diri sendiri, dan berlanjut kepada pembenaran-pembenaran yang kontinyu. Positifnya, ini akan membuat kita semakin baik dalam mengambil sudut pandang diri. Adakala waktu kita bercerita banyak tentang kejadian-kejadian masa lampau, yang membuat romantisme kepada orang-orang yang lebih muda di ruang-ruang pertemuan itu agak sungkan mendengarnya.


Dialegesthai sangat penting bagi manusia perskripsian, karena prosesnya adalah bertukar pikiran, saling bercurah hati, dan menghubungkan ide-ide spektakuler untuk bertahan hidup, dengan prinsip-prinsip dalam diri masing-masing seperti apa yang seharusnya dilakukan,

menyusun timeline hidup yang baik dalam berskripsi ria, menata diri, dan bertukar cerita tentang hidup bahkan sampai hal-hal sederhana dengan pertanyaan “Sebenarnya bagaimana kisahmu, sampai-sampai memilih Undip?”.


Noesis menjadi output daripada dialegesthai. Seorang kawan tempo hari berkata, sepatutnya manusia ketika ber-dialegesthai akan menemukan jawaban-jawaban baru yang tidak dapat disimpulkan oleh dirinya sebelum bertemu. Dan ini akan memunculkan kedekatan-kedekatan baru di luar zona nyaman, di luar peer group sebelumnya, di atas batas kemampuan daya pikirnya. Kedekatan ini akan menghasilkan keterikatan motivatif antarmanusia perskripsian. Dialegesthai seakan menjadi jawaban akan penemuan-penemuan diri, selfism yang sebelumnya kusebutkan di atas, dan memperkecil siptom egoism karena manusia cenderung untuk menyimpan resep rahasia — yang justru bisa menyelamatkan diri manusia lain. Ini sering disebutkan dalam pembicaraan dengan pintere dipek dewe (pintarnya disimpan sendiri). Dialegesthai justru akan saling mempertemukan manusia yang mungkin tidak pernah dekat sebelumnya, atau tidak pernah melakukan deep conversation di waktu lampau. Ini meningkatkan potensi besar munculnya noesis.

“Panta rhei kai uden menei.” (Herakleitos)


3. Penyangkalan terhadap Ruang dan Waktu

“Semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap.” Begitulah arti kata-kata di atas. Dunia akan terus bergerak, suka tak suka, mau tak mau, siap tak siap, saat kita lebih tekun di kamar menatap layar itu dalam keseharian — entah kita melakukannya untuk menjaga ruang gerak skripsian atau tidak sama sekali. Saat kita mengerjakan skripsi di rumah/kost saja, dengan interupsiinterupsi keseharian— membuka media sosial, membuka permainan PUBG sampai chicken dinner lebih kurang satu jam, menonton YouTube, mengerjakan pekerjaan rumah tangga lain, atau sesekali merokok di sela pengerjaan, kemudian jenuh dan memutuskan ke burjo atau cafe, dalam lamunan menjadi overthinking, berujung kepada penundaan-penundaan berlebih. Lebih baik mana dengan memutuskan untuk sehari atau seminggu saja tanpa menyentuh skripsi, sembari menikmati pemaknaan hidup, ke burjo untuk bersua dengan senior lama, kawan lama, dan junior-junior baru yang sangat butuh diskusi, pandangan dan cengkerama kakaknya. Pulang larut malam, dan begitu selanjutnya. Lebih baik mana? Jawabannya, tidak ada. Ruang dan waktu adalah relatif dalam penggunaan kita menikmatinya. Yang jelas pertanyaan simpulnya, apakah ruang dan waktu harus dinikmati atau dilawan? Maka dari itu, jawabannya didapatkan melalui dialegesthai yang menghasilkan noesis. Idealisme yang muncul dari selfism yang kusebut tadi, dapat me-radikalkan denial ini.


Lebih berbahaya lagi jika penyangkalan ini menanyakan seberapa pentingnya skripsi, bukan bagaimana cara bertahan hidup dalam skripsian untuk mencapai hakikat kelulusan itu sendiri. Prioritas skripsi memang relatif, kita tidak bisa menyimpulkan prioritas skripsi hanya dari unsur ekstrinsik, maupun trias problematika ini. Waktu semakin sempit, ruang semakin sedikit, namun ketika kita melihat dari sudut pandang lain (yang mana harus melalui dialegesthai sesama makhluk perskripsian), ruang dan waktu menjadi sahabat lama yang lama kita hindari. Semakin sedikit ruang, maka kecenderungan untuk memanfaatkan ruang sebisa mungkin akan semakin banyak. Semakin sempit waktu, maka ‘keterpaksaan’ untuk memanfaatkan waktu sebijak mungkin akan menjadi kuat. Menikmati ruang dan waktu bukan semata-mata leyeh-leyeh. Bagaimanakah menikmati ruang dan waktu itu? Berdialektikalah, ber-dialegesthai lah, karena Google tidak mempunyai cukup solusi. Semakin merasa terkejar kita, maka kita akan semakin terburu-buru, bukan malah menjadi bijaksana di ambang kelulusan. Bertukarlah kabar dengan sesama makhluk perskripsian, karena mereka pasti mempunyai masalah yang sama. Ini termasuk kebijaksanaan dalam pemanfaatan ruang dan waktu. Aa Burjo langgananmu juga bersedih tidak pernah melihat pelanggan setianya lagi. Adik-adik tingkatmu menunggu kehadiranmu untuk bercurah hati juga atas situasi dan kondisinya di organisasi maupun di perkuliahan. Sudah saatnya memang ketika melawan waktu, kita tidak akan pernah menang kecuali membunuh waktu perlahan dengan sebijaksana mungkin dalam memanusiakan manusia. Beberapa kawan lama, senior atau junior mengeluarkan pertanyaan; “Kok ga pernah keliatan, biasanya ngopi?, “Udah lama ga ketemu, bagaimana skripsimu?”, “Kak kok ga pernah ngampus sih? Aku mau cerita banyak nih.”. Apa tidak tersentuh kita? Aku yakin, jika kita datang, kita pasti disambut. Ketika kita pergi yang biasanya tanpa pamit betul-betul, ia akan kehilangan. Memanfaatkan ruang dan waktu bukan hanya selfism positif — mencintai diri, tetapi juga mencintai hidup, dan mencintai manusia lain.

Skripsi adalah sebuah hal khidmat, butuh kebijaksanaan. Tanpa GMNI, dengan kegiatan bermakna, rutinitas tanpa batas, ruang-ruang temu dengan senior, kawan satu lichting dan junior — yang tentunya menjadi ladang noesis, mungkin aku sudah membusuk di kamar, melapuk di kampus. Tidak ada tugas yang harus dilakukan. Memang seringkali, skripsi adalah disrupsi, menjadi penyempitan ruang gerak dan waktu luangku. Penuntutan akademik adalah sebuah candu. Kalau tak dituntut, tak ada dorongan lulus. Hakikat lulus itu apa? Karena problematika skripsi di dunia 4.0 ini bukan lagi rasa malas, tetapi trias di atas. Mengerjakan skripsi bersama adalah satu bentuk dialegesthai dari banyak macam lain. Lamanya waktu lulus, apa guna tanpa kebijaksanaan? Hilangnya kita dari ruang ini untuk lulus, apa hakikat kita untuk lulus dan ‘menang’? Kita butuh dialegesthai, maka manusia perskripsian lain juga pasti membutuhkan dialegesthai. Aren’t we all the same? Tugas utama kita adalah belajar. Belajar hidup dan bertahan untuk tetap hidup, bukan merintih kepada kertas-kertas bau.


Tigasks,

Submission by: Rifqi Prasetio.

44 views0 comments

Comments


bottom of page