top of page
  • Writer's picturetiga sks

Sebuah Seni dalam Merelakan


by: telur biasa

Can't you see?

That you want someone that I'm not

Yes I love but I can't

So I am letting you go now

I love you but I’m letting go

It is the only way, you know?


Begitulah lirik lagu “I Love You but I’m Letting Go” yang dipopulerkan oleh Pamungkas. Ketika beberapa orang berada dalam sebuah hubungan dan menghadapi masalah yang serius akan selalu muncul pertanyaan: tetap bertahan walau sakit atau selesai lalu lega?

Bentuk kebimbangan ini akan menghasilkan kesimpulan mentah bahwa segala permasalahan yang ada pasti ada penyelesaiannya. Akan tetapi, bagaimana jika buntu? Bagaimana ketika harapan yang dibangun untuk menyelesaikan masalah dalam hubungan tidak berujung?

Penyelesaian yang paling ampuh dalam masalah seperti ini adalah kita harus menerima dan melupakan atau lebih keren disebut dengan merelakan ketimbang menyangkal dengan menganggap semuanya baik-baik saja.

Merelakan dia pergi dengan yang lain? Sepakat untuk selesai? Melupakan? Menerima bahwa semuanya harus berakhir? Tidak semudah itu, Ferguso. Merelakan orang yang dicintai, disayangi, dijaga dengan sepenuh hati seperti layaknya Malika dalam Kecap Bango lalu menjalani kehidupan masing-masing bukanlah hal mudah. Apalagi hubungan yang dijalani sudah lama, mendalam dan mungkin lebih “jauh”.


Penyelesaian yang ampuh dari masalah ini adalah melupakan dan melepaskan orang yang dicinta atau putus cinta. Mungkin orang yang menjalani akan kehilangan gairah dan kekuatan dalam menjalani kehidupan. Mudah katanya bagi beberapa orang yang tidak merasakan alias anjinglah bangsat.

Akan muncul kegelisahan dalam perasaan yang menjalani. Karena seketika akan diserang rasa kehilangan dan menderita. Muncul pertanyaan apakah bisa menjalani hari tanpa dia, dan menebak isi pikiran society yang akan menganggap “aku adalah super villain dalam hubungan ini”. Atau bahkan ketika kita sudah mencintai pasangan secara 100% alias totalitas tanpa batas maka akan terbelenggu bahwa dia adalah orang yang paling sempurna dan ketika selesai akan muncul rasa tidak percaya akan kenyataan yang ada.


“Enggak kok kita masih temenan kaya biasa”, sebuah kata yang terucap akan tetapi kenyataannya semua hanya kalimat klarifikasi saja dan dalam hati tetap saja “Aku hancur teman-teman”. “Jangan pergi ya aku masih mau temenan sama kamu” mudah bagi yang meninggalkan akan tetapi “bagaimana denganku?”

Selain dalam hubungan pacaran problema seperti ini muncul juga ketika kita mendekati seorang ternyata dia sudah memiliki pasangan. Ketika dekat, akrab dan tidak adanya kejujuran di awal bahwa sudah memiliki pasangan, kita menganggap semuanya baik-baik saja, berbunga-bunga dan segala macamnya padahal semuanya hanya sekadar candaan pertemanan.


Pada intinya, merelakan sebuah pengorbanan, sebuah tuntutan jiwa terhadap ego untuk membebaskan sesuatu, meskipun tampak seperti kekalahan. (tirto.id)


Artikel ini mungkin bisa diakhiri dengan sebuah karya:


Kau sama saja

Seperti layaknya senja

Yang datang setiap hari

Pukul enam lebih mudahnya kau pergi

Tiba-tiba datang,

Tiba-tiba pergi

Dasar kau jalang

Tak punya hati


Tigasks,

Telur Biasa.

354 views0 comments

Comments


bottom of page