top of page
  • Writer's picturetiga sks

Perempuan dan Sinisme di Balik Asap Rokoknya



Label perempuan nakal kerap kali disematkan kepada para perempuan yang memilih untuk merokok secara aktif. Tak seperti kaum laki-laki, agaknya kebebasan untuk merokok di ruang publik bagi perempuan menjadi hal yang belum sepenuhnya lepas dan merdeka. Saya adalah seorang perempuan yang sehari-harinya kerap mengekspresikan diri saya dengan membakar tembakau di ruang publik. Ditatap secara diam-diam (bahkan terkadang terang-terangan) ketika saya tengah merokok bukanlah hal yang menyenangkan; terkadang membuat saya jengah. Tentunya, tatapan-tatapan itu disebabkan karena saya adalah seorang perempuan; bukan karena saya mengepulkan asap rokok di ruang-ruang terlarang.


Merokok adalah pilihan, yang saya yakin setiap perokok di luar sana pun sadar dan paham betul akan bahaya yang ditimbulkan dalam setiap asapnya. Lagi-lagi, merokok adalah pilihan. Dengan memutuskan untuk membakar satu batangnya, berarti seorang perokok secara sadar menanggung setiap resiko yang membayangi atas kebiasaan yang jelas-jelas buruk untuk kesehatan itu. Terlepas dari urusan resiko yang membahayakan kesehatan diri seperti yang divisualisasikan dalam setiap kotak rokok, mengapa rasanya salah ketika perempuan memilih untuk merokok? Mengapa hanya perempuan yang menerima label nakal dan amoral, sedangkan laki-laki tidak menanggung penghakiman yang sama?


Meski di zaman sekarang kita tak jarang lagi menemukan perempuan yang merokok di ruang publik, kita tidak bisa menutup mata bahwa masih ada stigma buruk yang melekat pada diri perempuan yang memilih untuk merokok. Padahal, terlepas dari apapun gendernya, pilihan untuk merokok adalah kebebasan setiap individu yang dewasa. Sebagai seorang perempuan yang merokok, sejujurnya saya masih tidak paham mengapa hanya perempuan yang mendapat rentetan label tidak mengenakkan hanya karena ia memilih untuk merokok. Anggapan yang absurd dan tidak berdasar, karena sejauh yang saya pahami, tidak ada larangan untuk merokok bagi perempuan kecuali yang sedang hamil. Tidak beretika, amoral, bahkan cap nakal hanya disematkan kepada perokok perempuan. Sinisme semacam “perempuan kok ngerokok?” menjadi hal yang kerap diterima oleh para perokok perempuan, baik itu diucapkan oleh laki-laki maupun perempuan lainnya. Citra maskulinitas yang kerap identik dengan rokok juga seolah menjadi pembenaran bahwa perempuan tidak semestinya merokok. Seolah rokok adalah barang eksklusif yang hanya ditujukan dan diwajarkan bagi laki-laki. Mengapa perempuan, yang sedang tidak hamil, dihakimi karakternya hanya karena ia memilih untuk merokok? Aturan moral seperti apa yang dilanggar oleh perempuan yang merokok? Dalam buku panduan hidup bermasyarakat, apa secara jelas menyatakan bahwa yang wajar dan boleh merokok hanya laki-laki?


Ketika memutuskan untuk mencoba menikmati sebatang rokok pertama kalinya, ada keraguan dalam diri saya tentang penghakiman yang akan saya terima di mata masyarakat. Deretan stigma buruk soal perempuan dan rokoknya adalah hal yang saya pertimbangkan dan menghantui pikiran saya. Hampir satu bulan lamanya saya hanya berani merokok di dalam kamar mandi. Saya masih ingat, bagaimana gemetarnya tangan saya ketika mengumpulkan segenap keberanian untuk membakar tembakau pertama kalinya di ruang publik. Ada sepercik rasa lega sekaligus bangga dalam diri saya ketika tak perlu lagi merasa sesak karena asap rokok yang memenuhi setiap sudut kamar mandi. Bukan, bukan perasaan bangga karena saya merokok. Rasa bangga yang saya rasa, adalah karena pada akhirnya saya berhasil melawan diri saya sendiri yang tanpa sadar melanggengkan anggapan buruk soal perempuan yang merokok. Sebuah bentuk perlawanan atas penghakiman yang timbul dalam diri saya karena ketika saya takut untuk merokok di ruang publik berarti saya turut meng-iya-kan stigma buruk soal perempuan dan sebatang rokok yang terselip di antara jemarinya. Dalam pikiran saya, ketika mengkhawatirkan persepsi masyarakat mengenai kebiasaan merokok saya, berarti saya tidak bisa menerima diri saya secara penuh dan seada-adanya. Setelah berhasil memerdekakan diri dari belenggu pikiran saya sendiri, yang selanjutnya dihadapi adalah ketakutan atas proses penerimaan di lingkungan. Sejujurnya, hal ini menjadi lebih mudah karena untungnya lingkungan terdekat tidak mengecilkan keseluruhan diri saya hanya karena rokok yang sehari-hari saya konsumsi.

Bagi seorang perempuan perokok, sinisme dan tatapan-tatapan penuh penghakiman masih kerap saya terima bahkan hingga saat ini. Kebiasaan merokok, terlepas dari dampak buruknya pada kesehatan, adalah hal yang tidak semestinya dihakimi oleh orang lain hanya karena melihat gendernya. Betul, kebiasaan merokok adalah hal yang buruk bagi setiap orang; baik laki-laki maupun perempuan. Namun, mengaitkan perempuan yang memilih merokok dengan standar moral dan etika kepantasan adalah dua hal yang berbeda. Silakan tegur kami jika memang salah dan mengganggu, merokok di tempat, situasi atau kondisi yang tidak seharusnya.


Berhenti menghakimi, berhenti mengadili karakter perempuan hanya karena pilihannya untuk merokok. Dengan atau tanpa rokok, saya masih orang yang sama. Kami, perempuan-perempuan perokok, masih orang yang sama. Tidak ada yang berbeda.


 

Tigasks, Marcelline.

42 views0 comments

Recent Posts

See All

Comentários


bottom of page