top of page
  • Writer's picturetiga sks

Merentang Kusutnya Lingkaran Rape Culture.

“Bias gender yang lahir sebagai produk budaya patriarki sering kali memandang perempuan sebagai objek seksual yang nilainya tidak lebih dari sekedar barang.”

Rape Culture, atau dalam bahasa Indonesia lazim disebut dengan budaya pemerkosaan, tanpa sadar menjadi hal yang sangat dekat dengan lingkungan kita. Berbagai tindakan yang mengarah pada budaya pemerkosaan sering kali dianggap sebagai hal yang seakan tak kasat mata.

Tabu, tidak mau tahu, dan sederet upaya penyangkalan yang berujung pada pemakluman atas budaya pemerkosaan yang telah mengakar. Sederhananya, normalisasi akan fenomena budaya pemerkosaan telah menjadi pembiaran yang berlarut-larut dalam masyarakat kita, di mana bahkan dalam beberapa kasus, pelecehan seksual terkesan dimaklumi dan tidak diambil pusing. Budaya pemerkosaan adalah penyakit sosial yang serius, hadir dan termanifestasi dalam berbagai macam bentuk pelecehan seksual yang merugikan korban seperti kejahatan kekerasan seksual, hubungan seksual non-consent, bahkan dalam interaksi sehari-hari yang terkadang tidak kita sadari; catcalling hingga jokes bernada seksisme yang melecehkan.

Budaya pemerkosaan mengakar kuat dari bentuk pembiaran dalam lingkup terkecil, contohnya adalah menganggap wajar berbagai macam candaan yang merendahkan lawan jenis. Dalam situasi ekstrim atas pembiaran budaya pemerkosaan verbal, terkadang berlindung dalam kalimat “it’s just a joke” akan semakin menyudutkan posisi korban pada ketidakberdayaan untuk sekedar mengungkapkan rasa keberatan dan tidak suka. Dalam pertemanan, terkadang korban bahkan terpaksa menutupi perasaannya dengan bertindak wajar seolah tidak terjadi apapun karena ada perasaan takut untuk menentang. Pembiaran dalam lingkaran terkecil inilah yang membuat permasalahan budaya pemerkosaan seolah tidak ada habisnya, dan ekstra sulit untuk diurai pada tingkat individu karena adanya anggapan dan miskonsepsi yang telah dinormalisasi.

Adanya budaya pemerkosaan tidak dapat dilepaskan dari minimnya pemahaman akan peran gender dalam masyarakat kita. Bias gender yang lahir sebagai produk budaya patriarki sering kali memandang perempuan sebagai objek seksual yang nilainya tidak lebih dari sekedar barang. Analogi semacam “Perempuan pakai baju terbuka ya pantes dilecehin, lalat kan otomatis nemplok kalo ada permen yang bungkusnya kebuka.” dan “Ya pantes aja diperkosa, kucing mana sih yang bisa nolak kalo disodorin ikan asin” begitu memandang rendah perempuan, menempatkan perempuan pada posisi seolah wajar untuk mendapat perlakuan tidak mengenakkan. Anggapan seperti itu terkadang membuat perempuan tidak bisa mengekspresikan diri sebebas laki-laki, karena faktanya masih banyak justifikasi dari lingkungan tentang perempuan dan penampilannya. Pikiran kolot dengan menitikberatkan pada penampilan yang seolah “mengundang” untuk dilecehkan bahkan sering kali mengarah pada perilaku victim blaming atau menyalahkan korban. Padahal, tidakkah akan menjadi lebih mudah untuk concern kepada pelaku dan mengesampingkan pakaian atau penampilan dari korban saat terjadi tindakan pelecehan atau bahkan kekerasan seksual? Akan sulit untuk menghilangkan praktik tindakan pelecehan seksual di masyarakat, utamanya di tempat yang masih melanggengkan budaya patriarki. Salah satu akar kuat dari budaya pemerkosaan di lingkungan kita adalah tingkat kesadaran gender yang rendah. Pemahaman soal persamaan gender bukanlah hal yang akan diajarkan di sekolah, bahkan hanya akan didapat di jenjang perkuliahan untuk beberapa konsentrasi studi tertentu saja. Awareness soal gender dan seksualitas masih dianggap sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan di ruang publik. Hal-hal dasar mengenai gender dan kemanusiaan adalah hal yang ada pada tingkat kesadaran individu, oleh karena itu akan sulit untuk mengaplikasikannya pada medium yang luas secara masif pada masyarakat yang memiliki kesadaran rendah akan persamaan gender.

Meski sulit untuk sepenuhnya mengubah persepsi masyarakat mengenai hal-hal berbau seksualitas serta menghapuskan budaya pemerkosaan secara signifikan, namun tidak mustahil rasanya untuk memiliki rasa optimis bahwa suatu saat nanti kita tidak lagi menjadi bagian dari masyarakat yang menganggap wajar budaya pemerkosaan. “Dimulai dari diri kita sendiri” mungkin terdengar klise dan picisan, namun ada benarnya, kan?

Tigasks,

Segarnyaesteh

25 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page