![](https://static.wixstatic.com/media/f0a74e_f09c4055680e4e378b7872a0c6d85764~mv2_d_1773_1773_s_2.jpg/v1/fill/w_411,h_411,al_c,q_80,enc_auto/f0a74e_f09c4055680e4e378b7872a0c6d85764~mv2_d_1773_1773_s_2.jpg)
Satu lagi gebrakan baru dari film Indonesia rilis pada pertengahan tahun 2019 ini.
Adalah Dua Garis Biru, film remaja sebagai debut dari Gina S. Noer sebagai sutradara. Gina
S. Noer bukanlah nama baru dalam industri sinema tanah air. Ia beberapa kali terlibat dalam
skenario untuk film-film besar seperti Posesif, Hari Untuk Amanda, hingga Habibie & Ainun.
Kali ini, ia menjajal untuk duduk di kursi sutradara sekaligus penulis skenario untuk film Dua
Garis Biru. Bisa dibilang, debutnya dalam Dua Garis Biru membawa sukses yang cukup
impresif meski pada awal-awal pemutarannya sempat mengundang kontroversi bagi sebagian orang.
Film ini mengeksplorasi hubungan percintaan remaja yang menjadi antitesis dari film-
film cinta remaja lainnya. Gina mencoba mengangkat sisi lain dari proses jatuh cinta, dan
mencoba memberi gambaran pada masyarakat urban mengenai perasaan cinta yang tak
terkontrol dan berujung “kebablasan”. Film Dua Garis Biru membukakan mata banyak orang
mengenai rentannya gejolak pada hubungan cinta remaja yang menggebu-gebu.
Dua Garis Biru dibuka dengan ritme yang cepat, penuh tawa dan nuansa gemas, namun tiba-tiba mood film beralih menjadi tak lagi menawarkan hubungan manis dan indah ala cinta monyet duasejoli di masa SMA. Film ini mengangkat sisi kelam dari sebuah hubungan romansa, di mana rasa cinta yang menggebu-gebu justru lambat laun menghasilkan sebuah tanggung-jawabbesar yang terlalu sulit untuk kita bayangkan; kehamilan gadis berusia 17 tahun yang sama sekali tak direncanakan apalagi diinginkan.
Kehamilan pada remaja SMA tentu saja bukan hal yang menyenangkan. Bayangan
indah tentang masa depan perlahan mulai berganti dengan ketakutan atas sebuah daging di
dalam rahim yang kian hari semakin berkembang. Adalah Dara (diperankan oleh Zara
JKT48) dan Bima (diperankan oleh Angga Yunanda), sepasang kekasih yang harus
menanggung beban dan tanggungjawab sebagai akibat dari apa yang mereka lakukan ketika rumah Dara dalam keadaan kosong. Dara belum menginginkan bayi dalam kandungannya; yang ia inginkan hanya mengejar impiannya ke Korea. Tentu saja, masalah tidak berhenti di sini. Seolah ingin menguatkan kesan dramatis dalam film ini, penggambaran antara keluarga Dara dan Bima adalah sebuah kehidupan yang bertolak belakang. Dara, yang hidup serba cukup di rumah besar dengan kedua orangtua yang sibuk dengan karirnya, dan Bima yang hidup di sepetak rumah dalam gang sempit bersama dengan kedua orangtuanya yang
konservatif dan religius. Setelah semakin lama menutupi kehamilannya, dengan perut yang
semakin membesar sekaligus perubahan kondisi yang terjadi dalam masa kehamilan, rahasia
Dara dan Bima terkuak hingga menyebabkan konflik di antara kedua belah keluarga. Mau takmau, sebagai solusi atas kehamilan yang tak diinginkan itu, keduanya dikawinkan secara
sederhana dengan situasi yang sepenuhnya jauh dari kata menyenangkan.
Dua Garis Biru agaknya menjadi salah satu film yang patut untuk ditonton di bioskop
tahun ini. Film ini merupakan film yang akan menimbulkan kesan yang cukup mendalam,
utamanya membuat kita berpikir ulang mengenai pentingnya memikirkan masa depan. Film
yang akan memberi kita pemahaman bahwa hubungan seksual tidak selamanya hanya sebatas
“ah” dan “uh”, namun bisa membawa kita dalam situasi dan beban berat di kemudian hari
ketika pada akhirnya menimbulkan hal yang belum kita inginkan. Selain membawa pesan
mengenai beratnya tanggung jawab yang dihadapi ketika seorang remaja mengalami
kehamilan pra-nikah, Dua Garis Biru juga mengingatkan kita bahwa kehamilan pada usia dini
adalah hal yang bisa membawa resiko besar karena ketidaksiapan organ tubuh remaja
perempuan dalam menghadapi masa kehamilan. Pesan bahwa menjadi orangtua adalah
pekerjaan yang tidak mudah untuk mereka-mereka yang belum siap secara mental dan materi,
disampaikan dengan baik dalam keseluruhan Dua Garis Biru. Agaknya, kontroversi yang
terjadi dan banyaknya boikot atas film ini terjadi karena dianggap menjerumuskan para
remaja untuk melakukan hubungan seksual pra-nikah dengan kisah cinta yang manis.
Padahal, yang terjadi sebaliknya; Dua Garis Biru akan membuat siapapun yang menonton
berpikir ulang untuk mengekspresikan cinta dan perasaannya melalui hubungan seksual pra-
nikah karena resiko-resiko buruk yang mungkin terjadi di kemudian hari karena
ketidaksiapan mental dan materi untuk menjadi orangtua di usia remaja.
Tentu saja film ini bukan film yang sempurna, bahkan mungkin akan rentan
menimbulkan rasa bosan pada sebagian penonton karena di pertengahan film ritmenya cukup lambat. Namun, Dua Garis Biru adalah film yang pantas untuk diapresiasi. Membawa premis menarik dan penuh pesan tanpa terkesan menggurui, Dua Garis Biru adalah film yang bisa kita nikmati secara santai dan mengalir dengan tenang meski konflik yang ada di dalam film
adalah hal yang berat. Film ini akan membawa kesan sederhana dan tanpa perlu wow effect di
sana sini, namun sepertinya memang bukan itu yang ingin dijual. Akting para pemain dan
kerapihan skenario adalah kunci dari mengapa film ini akan terasa spesial meski tanpa perlu
banyak usaha. Zara JKT48 dan Angga Yunanda berhasil memerankan remaja inosen dan naif
yang kehidupannya berubah tiba-tiba akibat perbuatan mereka. Kepolosan dan keluguan
remaja SMA akan sangat kental terasa pada diri mereka, di beberapa adegan bahkan kita
sebagai penonton akan merasa heran mengapa mereka masih bisa tertawa dan benar-benar
bucin di masa yang sulit. Selebihnya, akting dari para orangtua yang diperankan oleh aktor
dan aktris papan atas di film ini pun benar-benar membawa kita turut merasakan emosi,
hancur, dilema, dan ego orangtua yang berjuang menyelamatkan masa depan anak-anaknya.
Kemunculan Asri Welas juga sedikit menurunkan tensi emosi pada film ini, yang sudah pasti
akan membuat kita tertawa dibuatnya. Hal lain yang perlu diapresiasi tinggi adalah pemilihan lagu-lagu pada film ini yang benar-benar semakin menguatkan kesan emosional pada beberapa adegan, utamanya pada lagu Sulung milik Kunto Aji. Salah satu hal yang menarik dari Dua Garis Biru adalah bagaimana pembuat film mengakhiri kisah ini sejalan dengan narasi yang sudah dibangun di sepanjang durasi film; bahwa Dara dan Bima hanyalah sepasang remaja SMA yang masih harus melanjutkan hidup, masih memiliki mimpi danambisi meski hidup mereka sempat mengalami keterpurukan untuk sementara waktu atas“kesalahan” yang mereka perbuat.
RATING : Cukupkanlah / 10
Tigasks,
Segarnyaesteh
Comments