top of page
  • Writer's picturetiga sks

27 Steps of May : Mengeksplorasi Katarsis dalam Sunyi Berkepanjangan

Updated: May 8, 2019


by: satya aytas


Penuturan dialog antar tokoh terkadang dinilai sebagai salah satu kekuatan dari sebuah film, namun barang kali hal itu tidak berlaku dalam 27 Steps of May. Film ini adalah salah satu contoh nyata yang berhasil membuktikan bahwa sering kali film memang tidak perlu banyak kata untuk berkisah. Yang ada justru sebaliknya; dialog yang minimalis dan ketiadaan latar musik di sebagian besar alurnya malah semakin menghidupkan dan menguatkan 27 Steps of May. Film ini merupakan perjalanan visual yang sarat emosi, menantang perasaan penontonnya melalui serangkaian simfoni nonverbal yang tersaji apik di depan mata. Dalam diam, 27 Steps of May mampu menyedot keseluruhan fokus siapapun yang menontonnya ke dalam pengalaman pilu dan menyesakkan yang tanpa sadar akan menyentuh sisi-sisi emosional kita sepanjang pertunjukan. Tanpa butuh banyak bicara, tanpa perlu dijejali penjelasan di sana dan si sini, film ini dengan gamblang bercerita seada-adanya melalui apa yang ditangkap oleh mata kita. Agaknya penonton akan sulit untuk tidak ikut hanyut semakin dalam bersama 27 Steps of May sejak menit-menit pertamanya.


27 Steps of May membuka mata penontonnya bahwa kasus kejahatan seksual di masa lalu dapat membawa dampak yang sebegitu besarnya bagi korban. May, diperankan oleh Raihaanun, adalah seorang penyintas pemerkosaan yang menghabiskan waktu menahun dengan dibayang-bayangi trauma atas kejadian mengerikan yang menimpanya saat ia remaja. Luka itu masih ada. Masih menganga di sana meski delapan tahun berlalu. Trauma yang dialami May tidak hanya memberi dampak pada dirinya sendiri, namun juga pada ayahnya yang diperankan oleh Lukman Sardi. Berdua, May dan sang ayah hidup tanpa banyak bicara. Bentuk interaksi di antara keduanya hanya terjadi ketika mereka mengerjakan rutinitas membuat pakaian boneka. Pola komunikasi yang terjalin setiap harinya tidak pernah berubah, sama dan statis sejak peristiwa yang dialami May remaja. Dengan absennya dialog dan musik latar, penonton dibawa untuk memahami hadirnya senyap yang mencekam setiap harinya. Kita tahu bahwa keduanya tengah berjuang menghadapi pertempuran emosi dalam diri masing-masing. May yang selalu nampak tenang dan tanpa emosi, sesungguhnya adalah pribadi rapuh yang bisa luruh kapan saja. Ia mengurung diri bertahun-tahun di dalam rumah, menarik segala tentang dirinya dari dunia luar. Ayahnya yang tidak banyak bicara, sejujurnya memendam rasa bersalah yang begitu dalam atas rasa gagal dalam menjaga putrinya dari kejadian pemerkosaan yang dialami oleh May ketika remaja. Keduanya menyimpan emosi yang mendalam di balik keseharian yang dingin tanpa sentimen apapun, dan meluapkannya dengan cara yang berbeda. Masih dalam suasana yang sunyi, penonton dibawa melihat bagaimana May mempunyai kebiasaan untuk menyakiti dirinya sendiri setiap kali emosinya memuncak, dan melihat bagaimana sang ayah meluapkan emosinya di ring tinju dengan bertarung secara brutal tanpa mengenal ampun. Cara keduanya dalam meluapkan emosi digambarkan dengan begitu intens, seolah pembuat film ingin para penontonnya ikut merasakan rasa sakit yang bersarang bertahun-tahun di dalam diri May dan ayahnya.


Kejadian kebakaran di bagian rumah May mengubah dunianya sedikit demi sedikit. Melalui lubang kecil akibat adanya kebakaran itu, May “berkenalan” dengan seorang pesulap yang diperankan oleh Ario Bayu. Dengan terpisahkan sebidang dinding, kehidupan yang berbeda tergambar dengan jelas di sana; kehidupan May yang tanpa warna, dan ruangan pesulap yang penuh dengan warna. Pelan tapi pasti, ada rasa penasaran yang muncul dalam diri May dan kemudian ia dihadapkan dengan berbagai macam peristiwa yang menantang emosinya. Peristiwa-peristiwa yang menyentuh ketakutannya yang terdalam, dan sering kali membuatnya hilang kendali untuk meredam trauma yang mengusiknya selama menahun. Perkenalannya dengan pesulap membuat kehidupan May tak lagi sama, dan bukan hal yang mudah bagi May untuk menghadapi segala perubahan yang begitu besar sejak hadirnya pesulap di hidupnya. Kehadiran pesulap itu mengusik ketenangan yang dibangun oleh May selama bertahun-tahun lamanya, dan May tak punya cukup daya untuk menolak pesona magisnya.


Melalui 27 Steps of May, kita akan tahu bahwa film ini jauh lebih dari sekedar menjual pemandangan estetika visual semata. Apa yang akan dilihat oleh penonton melalui layar adalah kumpulan dari sudut-sudut pengambilan gambar yang indah, manis, dan sederhana; melebur dan menyatu dengan emosi yang coba disampaikan oleh film ini. Tanpa narasi, film ini bercerita dengan berbagai macam simbolisme yang bicara. Dibuka dengan musik dan warna-warna terang, nuansa ceria tercermin dalam kehidupan May ketika remaja dan segalanya berubah setelah peristiwa pemerkosaan yang dialaminya. Rona monokrom di tempat tinggal May seolah menggambarkan kondisinya yang hidup menahun beriring kelabu. Simbolisme lainnya dapat dilihat dari baju, rambut, hingga makanan milik May yang menjadi bagian dari kesehariannya. Aroma brutalisme juga kental digambarkan dalam kondisi ayah May yang hinggap dari satu pertarungan ke pertarungan lainnya, berusaha menyalurkan emosinya atas apa yang terjadi di rumah selama delapan taun lamanya. Alur yang pelan dalam 27 Steps of May juga menjadi keindahan dan kemewahan tersendiri, di mana penonton dapat melihat pengembangan karakter May dan ayahnya yang penuh lika-liku, memotret bagaimana panjang dan melelahkannya proses mengurai emosi masing-masing hingga akhirnya keduanya mencapai titik penerimaan dan mencoba berdamai dengan diri sendiri. Adanya karakter pesulap juga menambah kekuatan dari cerita di film ini, terlebih dengan adegan-adegan yang divisualisasikan dengan indah dalam menggambarkan interaksi antara ia dengan May melalui sebuah lubang di dinding. Tanpa perlu banyak bicara, tanpa perlu banyak dialog pretensius antar tokohnya, 27 Steps of May indah dengan caranya sendiri. Raihaanun dan Lukman Sardi agaknya perlu diapresiasi dengan tinggi atas peranan besar mereka dalam kesuksesan film ini, karena tanpa kemampuan akting yang luar biasa dari aktornya maka karakter emosi yang coba dibangun oleh May dan ayah akan terasa sangat hambar. Selain itu, aktor pendukung lainnya seperti Ario Bayu dan Verdi Solaiman juga memerankan karakternya dengan sangat baik. Tidak ada yang perlu diragukan lagi secara kualitas akting dari para aktornya.


Beberapa orang menobatkan 27 Steps of May sebagai salah satu film terbaik Indonesia di tahun 2019, dan rasanya tidak berlebihan untuk berkata demikian. Meski hanya tayang terbatas di beberapa kota saja dan dalam waktu yang singkat, agaknya film ini masih akan banyak didiskusikan dalam satu tahun ke depan. Selain mendapat banyak penghargaan di dalam dan luar negeri, paling tidak dalam beberapa waktu lagi film ini pasti akan turut meramaikan nominasi Piala Citra. Pasti!


RATING : ROLLERCOASTER PERASAAN YANG MELELAHKAN / 10


Tigasks,

Segarnyaesteh




51 views0 comments

コメント


bottom of page